Minggu, 31 Mei 2015

Diskalkulia



TUGAS KELOMPOK
MATA KULIAH PENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
DISKALKULIA
Dosen Pengampu : B. Erlita T.A, M.Psi












Disusun Oleh :

1.                        Elisabeth Vania Melati                        131134146
2.                        Alfa Mitananda Christi                       131134157
3.                        Estu Prihanti Wijayani                        131134219
4.                        Regina Ari Septiningrum                    131134221


Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
2015



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Makalah ini dibuat untuk memenuhi nilai salah satu tugas mata kuliah Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Mata kuliah ini membahas berbagai jenis dan karakteristik anak berkebutuhan khusus. Adapun bahasan materi dalam makalah ini kami batasi pada materi diskalkulia.
Diskalkulia adalah gangguan berupa kesulitan belajar matematika. Diskalulia ini cukup sulit untuk diidentifikasi. Selain itu apabila ada seorang anak mengalami kesulitan belajar matematika tidak serta merta kita dapat mendiagnosis ia memiliki gangguan diskalkulia begitu saja karena penyebab anak kesulitan belajar matematika cukup beragam. Maka dari itu penting bagi guru untuk mengenal ketidakmampuan anak dalam menguasai bidang matematika. Karena masih banyak diskalkulia yang belum teridentifikasi oleh orangtuanya. Sehingga mereka yang sudah memiliki gangguan dalam belajar matematika masih ditambah oleh ketidakpedulian lingkungan dan kurangnya fasilitas yang medukung akan membuat anak semakin terjebak dalam ketidakmampuannya.
Makalah ini dibuat untuk memperdalam pengetahuan mahasiswa sebagai calon guru SD mengenai diskalkulia. Harapannya adalah guru nantinya dapat mengidentifikasi dugaan dan segera memberikan pengarahan kepada orang tua serta mengonsultasikan kepada ahli untuk pendampingan lebih lanjut.




B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan diskalkulia?
2.      Bagaimana karakteristik anak yang memiliki gangguan diskalkulia?
3.       Apa saja penyebab anak mengalami gangguan diskalkulia?
4.      Bagaimana cara untuk mendampingi anak diskalkulia?
5.      Bagaimana hasil observasi yang telah dilakukan oleh mahasiswa mengenai anak diskalkulia ?

C.     Tujuan
1.      Mengetahui apa yang dimaksud dengan diskalkulia.
2.      Mengetahui bagaimana karakteristik anak yang memiliki gangguan diskalkulia.
3.      Mengetahui penyebab anak mengalami gangguan diskalkulia.
4.      Mengatahui cara untuk mendampingi anak yang mengalami diskalkulia.
6.      Mengetahui hasil observasi yang telah dilakukan oleh mahasiswa mengenai anak diskalkulia.












BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Diskalkulia
Tidak ada satu definisi yang spesifik diterima secara luas tentang diskalkulia, namun beberapa ahli mendefinisikan Diskalkulia sebagai berikut:
Kosc (1974) mendefinisikan diskalkulia sebagai gangguan struktural kemampuan matematika yang berawal pada kelainan bawaan pada bagian otak . Menurut Learner (1988), diskalkulia adalah kesulitan belajar matematika. Diskalkulia adalah ketidak mampuan belajar spesifik yang mempengaruhi kemampuan anak untuk memperoleh keterampilan aritmatika.

B.     Karakteristik Anak Berkesulitan Belajar Matematika (Diskalkulia)
Menurut Lerner (1981 : 357) ada beberapa karakteristik anak berkebutuhan belajar matematika, yaitu (1) adanya gangguan dalam hubungan keruangan, (2) abnormalitas persepsi visual, (3) asosiasi visual-motor, (4) perseverasi, (5) kesulitan mengenal dan memahami simbol, (6) gangguan penghayatan tubuh, (7) kesulitan dalam bahasa dan membaca, dan (8) Performance IQ jauh lebih rendah daripada skor Verbal IQ.
1.                   Gangguan Hubungan Keruangan
Konsep hubungan keruangan seperti atas-bawah, puncak-dasar, jauh-dekat, tinggi-rendah, depan-belakang, dan awal-akhir umumnya telah dikuasai anak sebelum masuk SD. Pemahaman tentang berbagai konsep hubungan keruangan tersebut diperoleh dari pengalaman dalam berkomunikasi dengan lingkungan sosial atau melalui berbagai permainan. Namun anak berkesulitan belajar sering mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dan lingkungan sosial juga sering tidak mendukung terselenggaranya suatu situasi yang kondusif bagi terjalinnya komunikasi. Adanya kondisi instrinsik yang diduga karena disfungsi otak dan kondisi ekstrinsik berupa lingkungan sosial yang tidak menunjang terselenggaranya komunikasi dapat mengganggu pemahaman anak tentang konsep hubungan keruangan sehingga dapat mengganggu pemahaman anak tentang sistem bilangan secara keseluruhan. Karena gangguan ini, anak tidak mampu merasakan jara antara angka-angka pada garis bilangan atau penggaris, dan mungkin tidak tahu bahwa angka 3 lebih dekat ke angka 4 daripada ke angka 6.
2.                   Abnormalitas Persepsi Visual
Anak berkesulitan belajar matematika sering mengalami kesulitan untuk melihat berbagai objek dalam hubungannya dengan kelompok atau set. Kemampuan melihat berbagai objek dalam kelompok marupakan dasar untuk mengidentifikasi jumlah objek dalam suatu kelompok. Anak yang mengalami abnormalitas persepsi visual akan mengalami kesulitan untuk menjumlahkan dua kelompok benda yang masing-masing terdiri dari lima dan empat anggota. Selain itu, anak juga akan mengalami kesulitan dalam membedakan bentuk-bentuk geometri. Adanya abnormalitas persepsi visual dapat menimbulkan kesulitan dalam belajar matematika, terutama dalam memahami berbagai simbol.
3.                   Asosiasi Visual-Motor
Anak berkesulitan belajar matematika sering tidak dapat menghitung benda-benda secara berurutan sambil menyebutkan bilangannya. Anak mungkin baru memegang benda ketiga namun telah mengucapkan “lima” ataupun sebaliknya. Hal ini memberi kesan bahwa nak hanya sekedar menghafal bilangan tanpa memahami maknanya.
4.                   Perseverasi
Ada anak yang perhatiannya melekat pada suatu objek saja dalam jangka waktu yang relatif lama. Anak mungkin pada mulanya dapat mengerjakan tugas dengan baik, tetapi lama-kelamaan perhatiannya melekat pada suatu objek. Contoh:
4 + 3 = 7
5 + 3 = 8
5 + 2 = 7
5 + 4 = 9
4 + 4 = 9
3 + 4 = 9
Angka 9 diulang beberapa kali tanpa memperhatikan kaitannya dengan soal matematika yang dihadapi.
5.                   Kesulitan Mengenal dan Memahami Simbol
Anak sering mengalami kesulitan dalam mengenal dan menggunakan simbol-simbol matematika seperti +,-,=,>,< dan sebagainya. Kesulitan seperti ini dapat disebabkan oleh adanya gangguan memori atau gangguan persepsi visual.



6.                   Gangguan Penghayatan Tubuh
Anak berkesulitan belajar matematika sering memperlihatkan adanya gangguan penghayatan tubuh. Anak merasa sulit untuk memahami hubungan bagian-bagian dari tubuhnya sendiri. Jika anak diminta untuk menggambar tubuh orang, mereka akan menggambar dengan bagian-bagian tubuh yang tidak lengkap atau menempatkan bagian tubuh pada posisi yang salah, misalnya bagian leher yang dihilangkan, maka anak dapat menggambarkan tangan di leher.
7.                   Kesulitan dalam Bahasa dan Membaca
Kesulitan dalam bahasa dapat berpengaruh terhadap kemampuan anak di bidang matematika. Soal matematika yang berbentuk cerita menuntut kemampuan membaca untuk memecahkanya. Oleh karena itu, anak yang mengalami kesulitan membaca akan mengalami kesulitan pula dalam memecahkannya.
8.                   Performance IQ Jauh Lebih Rendah daripada Skor Verbal IQ
Hasil tes inteligensi dengan menggunakan WISC (Wechsler Intelligence Scale for Children) menunjukkan bahwa anak berkesulitan belajar matematika memiliki skor PIQ (Performance Intelligence Quotient) yang jauh lebih rendah daripada skor VIQ (Verbal Intelligence Quotient). Rendahnya skor PIQ pada anak berkesulitan belajar matematika tampaknya terkait dengan kesulitan memahami konsep keruangan, gangguan persepsi visual, dan adanya gangguan asosiasi visual-motor.

C.     Penyebab Diskalkulia
Diskalkulia adalah masalah yang memberi dampak pada operasi penghitungan dalam matematika. Apabila anak – anak menghadapi masalah dalam matematika pada tingkat yang serius, ia dapat dikatakan menghadapi masalah diskalkulia. Diskalkulia disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satu faktor adalah mengkonsumsi alkohol selama masa kehamilan. Kemudian faktor lingkungan, yaitu kelemahan dalam memahami konsep matematika yang tidak didukung oleh lingkungannya. Kemudian  kelemahan dalam proses pengamatan, yaitu anak – anak tidak dapat mengamati nomor dan matematika secara keseluruhan. Mereka sering mengalami masalah dalam mengenal nomor dan sering menukar – nukar urutan nomor. Masalah yang lain adalah dalam aspek penyusunan. Anak – anak yang menghadapi masalah dalam menyusun informasi mengalami masalah dalam mengingat fakta dan rumus untuk menyelesaikan perhitungan matematika. Faktor kegagalan dalam memahami konsep motorik dasar
D.    Pendampingan Anak Diskalkulia
Anak – anak yang mengalami diskalkulia harus didorong untuk menggambarkan masalah matematika dengan cara membuat gambar yang dapat membantu mereka dalam memahami masalah tersebut. mereka juga harus dilatih untuk membaca masalah matematika dengan giat dan mendengar penjelasan dengan saksama untuk melatih kemampuan mendengar mereka. Setiap masalah matematika juga sebaiknya dikaitkan dengan situasi kehidupan sehari – hari. Anak – anak penderita diskalkulia harus diberi waktu tambahan untuk mengingat fakta dan rumus matematika. Salah satu caranya adalah dengan metode penghafalan yang dibantu dengan irama musik. Mereka juga membutuhkan perhatian secara personal, termasuk saat menjalani ujian. Guru harus menangani anak – anak ini dengan penuh kesabaran dan memastikan bahwa anak ini tidak gugup.
Penanganan
Dibawah ini adalah beberapa kegiatan yang dapat dilakukan untuk mendampingi anak diskalkulia, antara lain :
1.      Melatih anak secara bertahap untuk memahami dan menguasai simbol angka dan simbol operasi perhitungan matematika.
2.      Membantu anak memahami soal cerita pada konsep matematika dengan cara menghadirkan benda-benda yang disebutkan dalam soal secara visual.
3.      Melatih anak untuk mengerti dan menguasai konsep nilai pada uang. Hal ini dapat dilakukan dengan berlatih berbelanja sendiri mulai dari sejumlah barang yang sedikit sampai dengan yang cukup banyak.
4.      Anak dilatih untuk melakukan ordering (mengurutkan) dan seriasi pada suatu obyek. Misalnya mengurutkan bilangan dari yang terkecil sampai terbesar.
5.      Melatih korespondensi pada anak. Korespondensi adalah keterampilan memahami jumlah satu set obyek pada suatu tempat adalah sama banyaknya dengan satu set obyek pada tempat lain tanpa menghiraukan karakteristik obyek tersebut. Misalnya, menghubungkan gambar 5 buah mangga dengan lambang bilangan 5.
6.       Matematika dapat digunakan dalam aplikasi kegiatan sahari-hari. Misalnya, anak diajak untuk menghitung jumlah kursi yang ada di meja makan, menghitung jumlah pensil yang ada di kotak pensil, dan lain sebagainya.
7.      Memberikan pujian ketika anak sudah menunjukkan kemajuan dalam memahami konsep matematika, namun jangan terlalu menekan anak untuk pandai berhitung.
8.      Memperbanyak contoh-contoh konkret dalam memberikan pemahaman pada konsep yang abstrak, misalnya dengan menghadirkan alat peraga yang mempermudah anak untuk mulai mempelajarinya. Sebab dengan adanya bantuan alat peraga (benda konkret), berfungsi untuk membantu anak dalam pemahamannya akan konsep abstrak yang belum bisa dikuasai. Tentu hal ini merupakan strategi untuk melatih visualisasi anak yang perlu mendapat perhatian.
E.     Hasil Observasi          
Kami melaksanakan observasi dan wawancara di Sekolah Luar Biasa “Y” Unit II, Pringwulung.  SLB ini dikhususkan untuk siswa usia sekolah dasar hingga usia sekolah menengah pertama. Setelah meminta izin kepada pihak sekolah dan menyesuaikan jadwal maka kamipun melaksanakan observasi pada hari Senin 2 Maret 2015 pukul 07.00 WIB - 10.00 WIB.
Siswa yang kami observasi adalah siswa kelompok kelas C yaitu kelompok tuna grahita yang terdiri dari tuna grahita ringan, sedang dan berat. Kelas tersebut dibagi menjadi tiga kelompok dengan masing-masing guru pembimbing. Adapun kelompok yang kami observasi terdiri dari tiga orang siswa perempuan berinisial “S”, ”O”, “P” dan seorang siswa laki-laki berinisial “M” dengan usia rata-rata 11-12 tahun.
Pada hari tersebut guru memberikan mata pelajaran matematika berupa penjumlahan puluhan dan kami mengamati selama pembelajaran berlangsung. Berdasarkan observasi kami selama pebelajaran, mereka dapat mengikuti dan dapat mengerjakan soal matematika yang diberikan oleh guru. Namun mereka membutuhan waktu yang cukup lama untuk menyelesaikan soal yang diberikan guru. Berdasarkan observasi dan wawancara dengan guru “X” , “S” adalah siswa yang paling cepat menyelesaikan soal dan dapat menjawab semua dengan benar  meskipun menurut guru kelasnya ia memiliki gangguan sulit berbicara dan mengontrol motoriknya. Sedangkan “P”, sepintas tampak seperti anak-anak pada umumnya yang tidak memiliki gangguan, dulu ia pernah bersekolah di sekolah umum namun kemudian ia dipindahkan ke sekolah luar biasa karena ia tidak mampu mengikuti pelajaran seperti teman-temannya di sekolah umum. Ketika di SLB ia dapat menjawab soal-soal yang diberikan guru tetapi  ia seringkali susah untuk memfokuskan dirinya sehingga tidak semua soal dapat dijawab dengan benar. “M” juga mampu menyelesaikan soal-soal namun tidak semua jawabannya benar, ia masih membutuhkan bantuan untuk menghitung dengan bantuan membuat lidi-lidian (turus) seperti anak kelas I di sekolah umum. Sedangkan yang terakhir menyelesaikan pekerjaannya adalah “O”. “O” memiliki gangguan dalam penglihatan, ia dapat menyelesaikan soal tetapi tidak semua dijawabnya dengan benar. Ia juga pernah bersekolah di sekolah umum, ia pandai membaca namun tidak bisa mengulangi lagi dan tidak bisa memahami apa yang telah ia baca.
Pada pembelajaran tersebut “S” mendapatkan nilai 100, “P” mendapatkan nilai 85, “M”mendapatkan nilai 80 dan “O” mendapatkan nilai 80. Menurut guru kelas tersebut bahwa diantara keempat siswa tersebut yang diindikasi mengalami gangguan diskalkulia adalah “O”. “O” mengalami kesulitan dalam proses visual sehingga menyebabkan ia sulit menerima konsep matematika. Ia juga seringkali terbalik ketika menuliskan angka, misal seharusnya ia menulis angka 12 tetapi ia justru menuliskan 21. Namun guru membimbing “O” sedikit demi sedikit misalnya mengajari menghitung dengan menggunakan benda-benda nyata seperti lidi dan bola-bola dari was/malam. Dengan menggunakan benda-benda seperti itu siswa mempunyai gambaran tentang angka yang diajarkan.



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Beberapa ahli menyimpulkan bahwa diskalkulia merupakan gangguan struktural yang mengakibatkan anak mengalami kesulitan belajar matematika.
Karakteristik Anak Berkesulitan Belajar Matematika (Diskalkulia).
Menurut Lerner (1981 : 357) ada beberapa karakteristik anak berkebutuhan belajar matematika, yaitu (1) adanya gangguan dalam hubungan keruangan, (2) abnormalitas persepsi visual, (3) asosiasi visual-motor, (4) perseverasi, (5) kesulitan mengenal dan memahami simbol, (6) gangguan penghayatan tubuh, (7) kesulitan dalam bahasa dan membaca, dan (8) Performance IQ jauh lebih rendah daripada skor Verbal IQ.
Diskalkulia disebabkan oleh beberapa faktor antara lain konsumsi alkohol saat kehamilan, faktor lingkungan, kelemahan proses pengamatan, serta adanya amasalah dalam aspek penyusunan.
Adapun pendampingan yang dapat kita lakukan antara lain : melatih anak secara bertahap, membantu anak memahami soal cerita, melatih anak untuk mengerti dan menguasai konsep nilai pada uan, dilatih untuk mengurutkan, melatih korespondensi, mengaitkan matematika dengan konsep sehari-hari, serta memperbanyak contoh-contoh konkret. Kita juga perlu untuk memberikan pujian terhadap setia kemajuan yang dapat dilakukan anak agar anak merasa kerja kerasnya dihargai.



Daftar Pustaka

Abdurrahman, Dr.Mulyono.2009.Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar.Jakarta:PT.Rineka Cipta
Muhammad, Jamila K.A.2007.Special Education For Special,terj.Edy Sembodo.Bandung:Mizan Media Utama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar